Sabtu, 28 April 2012

Thaharah semester 2 Pai

THAHARAH

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Fiqih Ibadah Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Semester II
Logo IAIN.jpg
Disusun Oleh :
                                                Kelompok I (Satu) PAI-B
1.      Karim Pamela
NIM. 14111110141
2.      Linda Apriani
NIM. 14111110051
3.      Teti Iryanti
NIM. 14111111307
4.      Pathoni
NIM. 14111110149
Dosen Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Ahmad Yani,M.Ag.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada jungjunan kita, pemimpin akhir jaman yang sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah yang berjudul “THAHARAH” ini sengaja di bahas karena sangat penting untuk kita khususnya sbagai mahasiswa yang berada di jurusan Pendidikan Agama Islam. Banyak sekali penomena-penomena yang terjadi di masyarakat yang masih tidak paham tentang bab thaharah. Untuk itu kita sebagai mahasiswa yang berfungsi sebagai pengabdi di masyarakat harus dapat memberikan pengarahan agar masyarakat lebih mengenal lebih jauh tentang bab thaharah.
Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Bapak Ahmad Yani, M.Ag. selaku dosen Fiqih Ibadah untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca makalah ini.

                                                                                    Cirebon,     Februari 2012
                                                                                                Penyusun



DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar............................................................................................            
Daftar isi.......................................................................................................            
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................            
B.  Rumusan Masalah....................................................................            
C. Tujuan Pembahasan................................................................            
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah...............................................................            
B.  Dasar Hukum Thaharah.........................................................            
C. Najis...........................................................................................            
D. Hadas.........................................................................................            
E.  Mandi........................................................................................            
BAB III ANALISIS KRITIS
A.  
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................            
B.  Rekomendasi.............................................................................            
LAMPIRAN
1.   Daftar Pustaka.........................................................................            
2.   Biodata Penulis.........................................................................            



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor. Baik yang kotor itu bersifat hissy atau dapat dirasakan oleh indra. Thaharah juga bersifat maknawi dalam artian lain tidak dapat dirasakan oleh indra.
QS. Al-Ma’idah menjelaskan, “Dan jika kamu junub (berhadast besar) maka bersucilah”. Dalil yang mempertegas bahwa memang thaharah itu di anjurkan karena menjaga dari najis atau kotoran.
Dalam hukum islam juga bahwa bersuci dan segala seluk beluknya merupakan bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadast, suci badan, pakaian dan tempatnya dari najis.
Seperti Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yang menjelaskan bahwa, “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakanag yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian dari Thaharah?
2.      Dasar hukum apakah yang melandasi tentang Bab Thaharah?
3.      Apakah yang dimaksud dengan Najis?
4.      Apakah yang dimaksud dengan Hadats?
5.      Apakah yang dimaksu dengan Mandi dan bagaimana tata cara mandi itu?



C.    Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka adapun tujuan dari pembuatan makalah tentang Bab Thaharah ini, yaitu:
1.      Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan Thaharah dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Mahasiswa dan mahasiswi harus mengetahui dasar hukum tentang bab thaharah sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh AllahSWT.
3.      Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui macam-macam najis serta manfaat dan hikmah bersuci dari najis.
4.      Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui tentang hadats serta manfaat dan hikmah bersuci dari hadast.
5.      Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui tentang pentingnya mandi dalam hal bersuci dan mengetahui tata cara yang mender.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah
Menurut kitab Kifayatul Akhyar[1] dijelaskan bahwa Thahrah merupakan:
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Thaharah[2] menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu bersifat hissy (dapat dirasakan oleh indera) maupun maknawi (tidak dapat dirasakan oleh indera).
Menurut buku yang dikarang Syakir Jamaluddin[3] thaharah menurut bahasa berarti suci dan bersih, baik itu suci dari kotoran lahir maupun dari kotoran batin berupa sifat dan perbuatan tercela.
Menurut istilah, thaharah[4] adalah mensucikan diri dari najis dan hadats yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air atau tanah, atau batu. Penyucian diri di sini tidak terbatas pada badan saja tetapi juga termasuk pakaian dan tempat.
Lafadz thahuur[5] dalam hadits itu berarti pencuci dosa, seperti dalam hadits diterangkan bahwa Rosululoh bersabda, “Sesungguhnya sakit itu adalah pencuci sebagai dosa.” Yang dimaksud di sini adalah kotoran yang bersifat maknawi.
Adapun pengertian thaharah menurut para imam mujtahid adalah sebagai berikut:
Imam Al-Syafiiyah[6] bahwa thaharah berarti bersih dari hadats atau najis. Pengertian bersih itu mencakup yang diusahakan oleh seseorang ataupun tidak. Salah satu contohnya seperti najis yang dapat hilang karena adanya air  yang jatuh padanya.
Imam Malikiyyah[7] menyatakan bahwa thaharah merupakan suatu sifat yang menurut pendapat syara’ membolehkan orang yang mempunyai sifat itu mengerjakan shalat dengan pakaian yang dikenakannya di tempat yang ia gunakan untuk mengerjakan shalat itu.
Imam Al-Hanafiyyah [8] berpendapat bahwa pengertian thaharah terbagi dalam dua bagian. Pertama : suatu perbuatan yang membolehkan seseorang mengerjakan shalat, seperti, wudu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis, atau suatu perbuatan yang searti dengannya, seperti tayamum dan mandi yang disunatkan atau wudu diatas wudu. Dua : Hilangnya hadats, najis, ataupun yang semisalnya seperti tayamum dan mandi sunat. Dengan demikian thaharah adalah suat sifat maknawi yang diakibatkan oleh suatu perbuatan.
Imam Al-Hanabillah[9] bahwa thaharah menurut syara itu adalah hilangnya hadats atau yang semisalnya serta hilangnya najis atau hukum hadats dan najis itu sendiri.
Perihal bersuci[10] meliputi beberapa perkara berikut:
1.   Alat bersuci, seperti air, tanah dan sebagainya.
2.   Kaifiat (cara) bersuci.
3.   Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
4.   Benda yang wajib disucikan.
5.   Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.
Bersuci[11] ada dua bagian:
1.   Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan tayamum.
2.   Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

B.  Dasar Hukum Thaharah
Allah SWT memang sangat menganjurkan hamba-hamba-Nya agar senantiasa dalam keadaan suci lahir dan batin. Hal ini dalam Firman-Nya:


“Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang bertaubat (yang kembali) dan mencintai orang-orang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222)
Hukum thaharah[12] (bersuci) ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan melaksanakan shalat. Halini didasarkan pada firman Allah SWT:


“Dan jika kamu junub (berhadats besar) maka bersucilah…” (QS. Al-Ma’idah/5: 6)


“Terhadap Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al-Muddatstsir/74: 3-4)


“Kunci shalat itu adalah bersuci…” (HR. Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Darimi, dari Ali bin Abi Thalib)



C. Najis
Menurut kitab Mabadul Fiqiyah[13], penjelasan najis adalah:
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Najis[14] merupakan segala kotoran seperti tinja, kencing, darah (termasuk nanah), daging babi, bangkai (kecuali bangkai ikan belalang dan sejenisnya), liur anjing, madzi (yakni air yang berwana putih yang keluar dari kemaluan laki-laki yang biasanya karena sahwat seks, tetapi bukan air mani), wadi (yaitu air putih agak kental yang keluar dari kemaluan biasanya setelah kencing dan karena kecapean), dan semacamnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah najis hakiki.
Najis menurut bahasa[15] adalah segala sesuaatu yang menjijikan baik hissiy maupun maknawi maka dosa itu termasuk najis meskipun termasuk golongan maknawi.
Najis[16] yaitu suatu sifat yang menurut syar’i yaitu dilarang mengerjakan shalat dengan memakai pakaian yang terkena najis atau di tempat yang terkena najisnya.
Pembagian najis[17] menurut kitab Safinatun najah:
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Dalam buku Fiqih Islam di terangkan bahwa najis terbagi atas tiga[18] bagian:
1.    Najis Mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah di basuh tujuh kali, satu kali di antaranya hendaklah di basuh dengan air yang di campur dengan tanah.
2.    Najis Mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Mencuci benda yang terkena najis ini sudah memadai dengan memercikan pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan apapun selain ASI cara mencucinya hendaklah di basuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
3.    Najis Mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua macam tersebut di atas. Najis pertengahan ini terbagi atas dua bagian:
a.    Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang sudah lam kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang terkena najis itu.
b.    Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa koma dan baunya, kecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini di maafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna dan baunya.
Manfaat dan hikmah bersuci dari najis[19] diantaranya:
1.    Untuk memelihara kesehatan jasmani
§  Denga membersihkan badan dan benda yang lainnya dari najis atau kotoran, berarti membersihkan diri dari gangguan bibit penyakit dan zat-zat berbahaya lainnya yang merusak kesehatan tubuh, baik langsung maupun tidak.
§  Menjaga hubungan baik dalam pergaulan sesama manusia dengan menghindarkan diri dari ketidaksenangan orang lain yang disebabkan oleh keadaan diri kita yang tidak bersih.
§  Meningkatkan kewibawaan dan harga diri seseorang sekaligus menghindarkan diri dari kehinaan.


2.    Untuk memelihara kesehatan rohani
§  Kesehatan rohani banyak di pengaruhi oleh kesehatan jasmani. Orang yang fisiknya berpenyakit, daya ingat dan ketenangan dirinya akan terganggu.
§  Dengan jasmani yang bersih, rohani jadi bersih. Dengan demikian kebersihan dapat mendidik manusia senantiasa hidup bersih, tertuma ketika menghadap Tuhannya.
§  Kebersihan menjadi media pendekatan diri kepada Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang mensucikan dirinya.
Perhatikan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi sebagai berikut
................................................................................................................
Artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.
3.    Untuk memelihara sikap dan ahlakul karimah
§  Kebersihan akan dapat mendidik manusia berakhlak mulia, sebab kebiasaan hidup bersih akan mendorong seseorang menjauhi hal-hal yang menimbulkan kotor dan tercela sekaligus mendorongnya melakukan perbuatan baik dan terpuji.
§  Untuk beribadah kepada Allah di perlukan sikap dan jiwa yang bersih dari kotoran bathin, seperti sikap tidak percaya kepada diri, sendiri dan selalu ragu apakah  dirinya pantas untuk melakukan ibadah tidak. Jika ia selalu membersihkan diri, bathin, maka kepercayaan diri akan timbul dan ia selalu senang untuk beribadah kepadaNya
D. Hadas



E.  Mandi
A




BAB III
ANALISIS KRITIS

A.    B



BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
B.     Saran



Lampiran 1
DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin, Syakir. 2010. Kuliah Fiqih Ibadah. Surya Sarana Grafika: Yogyakarta.
Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqih Islam. PT. Sinar Baru Algensindo: Bandung.
Syaituky, Mahmud. 2007. Fiqih 7 Madzab. Pustaka Setia: Bandung.
Firman, M. 2004. Belajar Efektif Fiqih. PT. Intimedia. Ciptanusantara: Jakarta Timur.
Hamid, Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Fiqih Ibadah. Pustaka Setia: Bandung.
Salim, Alim Fadil. Kitab Safinatunajah.Daroihyai Kitab Al Arobiyah. Indonesia.
Kahlani, Muhammad Ismail. 1926. Kitab Subulus Salam. Multajam: Bandung.
Abi Bakrin, Imam Taqiyudin. Kitab Kifayatul Ahyar. Daroihyai Kitab Al Arobiyah: Indonesia.
Jabar, Umar Abdul. Mabadi’ul Fiqiyah. Surabaya-Indonesia.


Lampiran 2
BIODATA PENULIS

*      Nama                     : Karim Pamela
TTL                       : Ciamis, 14 Juni 1992
Asal Sekolah         : SMA Negeri 1 Rancah
Alamat Rumah      : Jl. Ujung Pandang Blok C Nuansa Majasem
No. Hp                  : 083877094747

*      Nama                     : Linda Apriani
TTL                       : Cirebon, 18 November 1992
Asal Sekolah         : MA Manbaul Hikmah
Alamat Rumah      : Ds. Sidaresmi Kec. Pabedilan Kab. Cirebon
No. Hp                  : 085724938984

*      Nama                     : Pathoni
TTL                       :
Asal Sekolah         :
Alamat Rumah      :
No. Hp                  : 087727796100

*      Nama                     : Teti Iryanti
TTL                       : Indramayu, 25 November 1992
Asal Sekolah         : MAP. Al-Mu’minin
Alamat Rumah      : PDK Blok B
No. Hp                  : 087728791035



[1] Abi Bakri, Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar, h. 6
[2] Syaituky, Mahmud, Fiqih 7 Madzab, h. 31
[3] Jamaluddin, Syakir, Kuliah Fiqih Ibadah, h. 61
[4] Ibid, h. 61
[5] Jamaluddin, Syakir Loc.cit.
[6] Jamaluddin, Syakir Loc.cit.
[7] Jamaluddin, Syakir Loc.cit. h. 32
[8] Jamaluddin, Syakir Loc.cit.
[9] Jamaluddin, Syakir Loc.cit. h. 33
[10] Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, h. 13
[11] Rasjid, Sulaiman, Loc.cit
[12] Ibid, h. 61
[13] Jabar, Umar Abdi, Mabadil Fiqiyah, h. 7
[14] Jamaluddin, Syakir, Op. Cit, h.64
[15] Syaituky, Mahmud, Op. Cit, h. 31
[16] Ibid, h.31
[17] Salim, ‘alim fadil, safinatun najah, h. 40
[18] Rasjid, sulaiman, Op. Cit, h. 21
[19] Babudin, Belajar Efektif Fiqih, h. 2-4