THAHARAH
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Terstruktur Mata Kuliah Fiqih Ibadah Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam
Semester II
Disusun Oleh :
Kelompok
I (Satu) PAI-B
1.
Karim
Pamela
NIM.
14111110141
2.
Linda
Apriani
NIM.
14111110051
3.
Teti
Iryanti
NIM.
14111111307
4.
Pathoni
NIM.
14111110149
Dosen Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Ahmad Yani,M.Ag.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH
NURJATI CIREBON
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.
Wb.
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak
memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga
tetap tercurahkan kepada jungjunan kita, pemimpin akhir jaman yang sangat
dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah
yang berjudul “THAHARAH” ini sengaja di bahas karena sangat penting untuk kita
khususnya sbagai mahasiswa yang berada di jurusan Pendidikan Agama Islam.
Banyak sekali penomena-penomena yang terjadi di masyarakat yang masih tidak
paham tentang bab thaharah. Untuk itu kita sebagai mahasiswa yang berfungsi
sebagai pengabdi di masyarakat harus dapat memberikan pengarahan agar
masyarakat lebih mengenal lebih jauh tentang bab thaharah.
Selanjutnya,
penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Bapak Ahmad Yani, M.Ag. selaku dosen Fiqih
Ibadah untuk memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan makalah ini lebih
baik lagi.
Demikian,
semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya semua yang
membaca makalah ini.
Cirebon, Februari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Kata Pengantar............................................................................................
Daftar isi.......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................
C. Tujuan Pembahasan................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah...............................................................
B. Dasar Hukum Thaharah.........................................................
C. Najis...........................................................................................
D. Hadas.........................................................................................
E. Mandi........................................................................................
BAB III ANALISIS KRITIS
A.
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................
B. Rekomendasi.............................................................................
LAMPIRAN
1. Daftar Pustaka.........................................................................
2.
Biodata
Penulis.........................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thaharah
menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor. Baik yang kotor itu
bersifat hissy atau dapat dirasakan oleh indra. Thaharah juga bersifat maknawi dalam
artian lain tidak dapat dirasakan oleh indra.
QS.
Al-Ma’idah menjelaskan, “Dan jika kamu junub (berhadast besar) maka
bersucilah”. Dalil yang mempertegas bahwa memang thaharah itu di anjurkan
karena menjaga dari najis atau kotoran.
Dalam
hukum islam juga bahwa bersuci dan segala seluk beluknya merupakan bagian ilmu
dan amalan yang penting, terutama karena syarat-syarat shalat telah ditetapkan
bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadast, suci
badan, pakaian dan tempatnya dari najis.
Seperti
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yang menjelaskan bahwa,
“sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai
dengan latar belakanag yang telah dipaparkan diatas, maka dapat di rumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah
pengertian dari Thaharah?
2. Dasar
hukum apakah yang melandasi tentang Bab Thaharah?
3. Apakah
yang dimaksud dengan Najis?
4. Apakah
yang dimaksud dengan Hadats?
5. Apakah
yang dimaksu dengan Mandi dan bagaimana tata cara mandi itu?
C. Tujuan Pembahasan
Sesuai
dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka adapun tujuan dari
pembuatan makalah tentang Bab Thaharah ini, yaitu:
1. Mahasiswa
dan mahasiswi mampu mengetahui apa yang dimaksud dengan Thaharah dan dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mahasiswa
dan mahasiswi harus mengetahui dasar hukum tentang bab thaharah sehingga dalam
pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh AllahSWT.
3. Mahasiswa
dan mahasiswi mampu mengetahui macam-macam najis serta manfaat dan hikmah
bersuci dari najis.
4. Mahasiswa
dan mahasiswi mampu mengetahui tentang hadats serta manfaat dan hikmah bersuci
dari hadast.
5. Mahasiswa
dan mahasiswi mampu mengetahui tentang pentingnya mandi dalam hal bersuci dan
mengetahui tata cara yang mender.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
Menurut kitab Kifayatul Akhyar[1]
dijelaskan bahwa Thahrah merupakan:
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Thaharah[2]
menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu
bersifat hissy (dapat dirasakan oleh indera) maupun maknawi (tidak dapat
dirasakan oleh indera).
Menurut
buku yang dikarang Syakir Jamaluddin[3] thaharah
menurut bahasa berarti suci dan bersih, baik itu suci dari kotoran lahir maupun
dari kotoran batin berupa sifat dan perbuatan tercela.
Menurut
istilah, thaharah[4]
adalah mensucikan diri dari najis dan hadats yang menghalangi shalat dan
ibadah-ibadah sejenisnya dengan air atau tanah, atau batu. Penyucian diri di
sini tidak terbatas pada badan saja tetapi juga termasuk pakaian dan tempat.
Lafadz
thahuur[5]
dalam hadits itu berarti pencuci dosa, seperti dalam hadits diterangkan bahwa
Rosululoh bersabda, “Sesungguhnya sakit
itu adalah pencuci sebagai dosa.” Yang dimaksud di sini adalah kotoran yang
bersifat maknawi.
Adapun
pengertian thaharah menurut para imam mujtahid adalah sebagai berikut:
Imam Al-Syafiiyah[6]
bahwa
thaharah berarti bersih dari hadats atau najis. Pengertian bersih itu mencakup
yang diusahakan oleh seseorang ataupun tidak. Salah satu contohnya seperti
najis yang dapat hilang karena adanya air
yang jatuh padanya.
Imam Malikiyyah[7]
menyatakan
bahwa thaharah merupakan suatu sifat yang menurut pendapat syara’ membolehkan
orang yang mempunyai sifat itu mengerjakan shalat dengan pakaian yang
dikenakannya di tempat yang ia gunakan untuk mengerjakan shalat itu.
Imam Al-Hanafiyyah [8]
berpendapat
bahwa pengertian thaharah terbagi dalam dua bagian. Pertama : suatu perbuatan yang membolehkan seseorang mengerjakan
shalat, seperti, wudu, mandi, tayamum, dan menghilangkan najis, atau suatu
perbuatan yang searti dengannya, seperti tayamum dan mandi yang disunatkan atau
wudu diatas wudu. Dua : Hilangnya
hadats, najis, ataupun yang semisalnya seperti tayamum dan mandi sunat. Dengan
demikian thaharah adalah suat sifat maknawi yang diakibatkan oleh suatu
perbuatan.
Imam Al-Hanabillah[9]
bahwa
thaharah menurut syara itu adalah hilangnya hadats atau yang semisalnya serta
hilangnya najis atau hukum hadats dan najis itu sendiri.
Perihal
bersuci[10]
meliputi beberapa perkara berikut:
1.
Alat bersuci, seperti air, tanah dan
sebagainya.
2.
Kaifiat (cara) bersuci.
3.
Macam dan jenis-jenis najis yang perlu
disucikan.
4.
Benda yang wajib disucikan.
5.
Sebab-sebab atau keadaan yang
menyebabkan wajib bersuci.
Bersuci[11]
ada dua bagian:
1.
Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus
untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan tayamum.
2.
Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku
pada badan, pakaian, dan tempat.
B. Dasar Hukum Thaharah
Allah
SWT memang sangat menganjurkan hamba-hamba-Nya agar senantiasa dalam keadaan
suci lahir dan batin. Hal ini dalam Firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah Mencintai
orang-orang yang bertaubat (yang kembali) dan mencintai orang-orang mensucikan
diri.” (QS. Al-Baqarah/2: 222)
Hukum
thaharah[12]
(bersuci) ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan melaksanakan shalat.
Halini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Dan jika kamu junub (berhadats
besar) maka bersucilah…” (QS. Al-Ma’idah/5: 6)
“Terhadap Tuhanmu agungkanlah, dan
pakaianmu sucikanlah” (QS. Al-Muddatstsir/74: 3-4)
“Kunci shalat itu adalah bersuci…”
(HR. Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, Darimi, dari Ali bin Abi Thalib)
C. Najis
Menurut kitab Mabadul Fiqiyah[13],
penjelasan najis adalah:
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Najis[14]
merupakan segala kotoran seperti tinja, kencing, darah (termasuk nanah), daging
babi, bangkai (kecuali bangkai ikan belalang dan sejenisnya), liur anjing,
madzi (yakni air yang berwana putih yang keluar dari kemaluan laki-laki yang
biasanya karena sahwat seks, tetapi bukan air mani), wadi (yaitu air putih agak
kental yang keluar dari kemaluan biasanya setelah kencing dan karena kecapean),
dan semacamnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah najis hakiki.
Najis menurut bahasa[15]
adalah segala sesuaatu yang menjijikan baik hissiy maupun maknawi maka dosa itu
termasuk najis meskipun termasuk golongan maknawi.
Najis[16]
yaitu suatu sifat yang menurut syar’i yaitu dilarang mengerjakan shalat dengan
memakai pakaian yang terkena najis atau di tempat yang terkena najisnya.
Pembagian najis[17]
menurut kitab Safinatun najah:
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Dalam buku Fiqih Islam di terangkan bahwa najis terbagi
atas tiga[18]
bagian:
1. Najis Mugallazah
(tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah di basuh
tujuh kali, satu kali di antaranya hendaklah di basuh dengan air yang di campur
dengan tanah.
2. Najis Mukhaffafah
(ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain
selain ASI. Mencuci benda yang terkena najis ini sudah memadai dengan
memercikan pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak
perempuan yang belum memakan apapun selain ASI cara mencucinya hendaklah di
basuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat
najis dan sifat-sifatnya sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
3. Najis Mutawassitah
(pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua macam tersebut di atas.
Najis pertengahan ini terbagi atas dua bagian:
a. Najis hukmiah, yaitu
yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya,
seperti kencing yang sudah lam kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang.
Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang terkena
najis itu.
b. Najis ‘ainiyah, yaitu
yang masih ada zat, warna, rasa koma dan baunya, kecuali warna atau bau yang
sangat sukar menghilangkannya, sifat ini di maafkan. Cara mencuci najis ini
hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna dan baunya.
Manfaat dan hikmah bersuci dari najis[19]
diantaranya:
1. Untuk memelihara kesehatan jasmani
§ Denga membersihkan badan dan benda yang lainnya dari
najis atau kotoran, berarti membersihkan diri dari gangguan bibit penyakit dan
zat-zat berbahaya lainnya yang merusak kesehatan tubuh, baik langsung maupun
tidak.
§ Menjaga hubungan baik dalam pergaulan sesama manusia
dengan menghindarkan diri dari ketidaksenangan orang lain yang disebabkan oleh
keadaan diri kita yang tidak bersih.
§ Meningkatkan kewibawaan dan harga diri seseorang
sekaligus menghindarkan diri dari kehinaan.
2. Untuk memelihara kesehatan rohani
§ Kesehatan rohani banyak di pengaruhi oleh kesehatan
jasmani. Orang yang fisiknya berpenyakit, daya ingat dan ketenangan dirinya
akan terganggu.
§ Dengan jasmani yang bersih, rohani jadi bersih. Dengan
demikian kebersihan dapat mendidik manusia senantiasa hidup bersih, tertuma
ketika menghadap Tuhannya.
§ Kebersihan menjadi media pendekatan diri kepada Allah,
karena Allah mencintai orang-orang yang mensucikan dirinya.
Perhatikan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 222 yang
berbunyi sebagai berikut
................................................................................................................
Artinya: Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang
menyucikan diri.
3. Untuk memelihara sikap dan ahlakul karimah
§ Kebersihan akan dapat mendidik manusia berakhlak mulia,
sebab kebiasaan hidup bersih akan mendorong seseorang menjauhi hal-hal yang
menimbulkan kotor dan tercela sekaligus mendorongnya melakukan perbuatan baik
dan terpuji.
§ Untuk beribadah kepada Allah di perlukan sikap dan jiwa
yang bersih dari kotoran bathin, seperti sikap tidak percaya kepada diri,
sendiri dan selalu ragu apakah dirinya
pantas untuk melakukan ibadah tidak. Jika ia selalu membersihkan diri, bathin,
maka kepercayaan diri akan timbul dan ia selalu senang untuk beribadah
kepadaNya
D. Hadas
E. Mandi
A
BAB
III
ANALISIS
KRITIS
A. B
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Lampiran 1
DAFTAR
PUSTAKA
Jamaluddin,
Syakir. 2010. Kuliah Fiqih Ibadah.
Surya Sarana Grafika: Yogyakarta.
Rasjid,
Sulaiman. 2001. Fiqih Islam. PT.
Sinar Baru Algensindo: Bandung.
Syaituky,
Mahmud. 2007. Fiqih 7 Madzab. Pustaka
Setia: Bandung.
Firman,
M. 2004. Belajar Efektif Fiqih. PT.
Intimedia. Ciptanusantara: Jakarta Timur.
Hamid, Abdul dan Beni Ahmad
Saebani. 2009. Fiqih Ibadah. Pustaka
Setia: Bandung.
Salim, Alim Fadil. Kitab Safinatunajah.Daroihyai Kitab Al
Arobiyah. Indonesia.
Kahlani, Muhammad Ismail. 1926.
Kitab Subulus Salam. Multajam:
Bandung.
Abi Bakrin, Imam Taqiyudin. Kitab Kifayatul Ahyar. Daroihyai Kitab
Al Arobiyah: Indonesia.
Jabar, Umar Abdul. Mabadi’ul Fiqiyah. Surabaya-Indonesia.
Lampiran 2
BIODATA
PENULIS
Nama :
Karim Pamela
TTL : Ciamis, 14 Juni 1992
Asal Sekolah : SMA Negeri 1 Rancah
Alamat Rumah : Jl. Ujung Pandang Blok C Nuansa Majasem
No. Hp : 083877094747
Nama :
Linda Apriani
TTL : Cirebon, 18 November 1992
Asal Sekolah : MA Manbaul Hikmah
Alamat Rumah : Ds. Sidaresmi Kec. Pabedilan Kab. Cirebon
No. Hp : 085724938984
Nama :
Pathoni
TTL :
Asal Sekolah :
Alamat Rumah :
No. Hp : 087727796100
Nama :
Teti Iryanti
TTL : Indramayu, 25 November 1992
Asal Sekolah : MAP. Al-Mu’minin
Alamat Rumah : PDK Blok B
No. Hp : 087728791035
[1] Abi Bakri, Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar, h. 6
[2] Syaituky,
Mahmud, Fiqih 7 Madzab, h. 31
[3]
Jamaluddin, Syakir, Kuliah Fiqih Ibadah, h.
61
[4]
Ibid, h. 61
[5] Jamaluddin,
Syakir Loc.cit.
[6]
Jamaluddin, Syakir Loc.cit.
[7]
Jamaluddin, Syakir Loc.cit. h. 32
[8]
Jamaluddin, Syakir Loc.cit.
[9]
Jamaluddin, Syakir Loc.cit. h. 33
[10]
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, h. 13
[11]
Rasjid, Sulaiman, Loc.cit
[12]
Ibid, h. 61
[13] Jabar, Umar Abdi, Mabadil Fiqiyah, h. 7
[14] Jamaluddin, Syakir, Op. Cit, h.64
[15]
Syaituky, Mahmud, Op. Cit, h. 31
[16] Ibid, h.31
[17] Salim, ‘alim fadil, safinatun najah, h. 40
[18] Rasjid, sulaiman, Op. Cit, h. 21
[19] Babudin, Belajar Efektif Fiqih, h. 2-4